Bila kita melihat ke belakang, sering diungkapkan bahwa perturnbuhan perguruan tinggi di Tanah Air sejak tahun '60-an diwarnai oleh "pertumbuhan yang acak". Barulah dalam tahun 1975 terlihat upaya-upaya untuk meletakkan dasar pertumbuhan secara bersistem. Berhubung perkembangan sistem pendidikan tinggi tidak terlepas dari supra-sistem yang berlab secara nasional, maka selama kurun waktu tersebut dirasakan adanya kebijaksanam-kebijaksanaan yang kurang konsisten serta berkesinambungan
dan biasanya mengikuti alur pasang-surutnya "sikon" di tingkat nasional.
Disadari bahwa untuk dapat menetapkan suatu kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan tinggi, diperiuka dasar berpijak yang kokoh berupa Undang-Undang yang selanjutnya diturunkan menjadi berbagai Peraturan Pemerintah(PP), KepMen, SK DirJen dan seterusnya, yang dapat memayungi kebijaan karena kebijakan
operasional sesuai dengan pencapaian tujuan yang dimaksud.
Dalam menatap ke depan, telah banyak dasar tempat berpijak dan
"mencantolkan" harapan-harapan tersebut untuk dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Tujuan pendidikan tinggi sebagaimana disebutkan dalam PP-30190 adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat ymg memiliki kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/alau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau
kesenian (ipteks). Selanjutnya selain mengembangkan dan menyebarluaskan ipteks tersebut juga mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Selanjutnya mengenai peranan pendidikan tinggi dalam peningkatan
kualitas sumberdaya manusia (SDM) dalam Pembangunan Jangka Panjang dua (PJP 11) telah dimmuskan dalam GBNN 1993 antara lain dikemukakan bahwa: "Pendidikan Nasional dikembangkan seeara terpadu dan serasi baik
Teasdale (1999) dalam bukunya berjudul "Local Knowledge and Wisdom in
Higher Education" menyinggung sejarah kejayaan pusat pendidikan dunia
pada abad ke-16. Dikatakan bahwa pusat kejayaan pendidikan tinggi dunia
pernah terdapat di kota-kota besar dunia pada waktu itu seperti Bagdad,
Istanbul, Cordoba dan Kairo. Pada saat itu tidak sedikit bangsa barat
dari Eropa yang datang ke kota-kota tersebut untuk belajar ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan cara barter yaitu menukar hasil
pertanian mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada abad
millinium ini pusat kejayaan pendidikan dunia telah berada pada
negara-negara berkembang (developed countries) seperti Jepang, Korea
Selatan, Singapura, Malaysia, Canada, US, Uni Eropa, Australia dan New
Zealand. Realita ini diindikasikan dengan banyaknya hasil-hasil
penelitian ilmiah (scientific findings) dalam bidang ilmu pengetahuan
dan technology (science dan technology) yang telah dipublikasikan di
berbagai media, website inernet dan beberapa jurnal ilmiah yang
bereputasi dan terakreditasi secara internasional oleh
perguruan-perguraun tinggi di negara tersebut. Lagi pula, negara-negara
tersebut diatas maju dalam membangun bangsanya karena mereka berpegang
pada paradigma "build nation build schools" yang mengandung pengertian
kontekstual yaitu "memajukan bangsa melalui pendidikan".
Telah
tercatat pula dalam sejarah bahwa pada beberapa dekade yang lalu
pendidikan tinggi di Indonesia pernah menjadi kiblat bagi mahasiswa dari
negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura yang ingin melanjutkan
pendidikan tinggi di Indonesia. Banyak mahasiswa asal negeri jiran
tersebut yang belajar di beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Namun sayangnya, menurut informasi dari beberapa sumber yang dapat
dipercaya melansir bahwa dewasa ini ada lebih banyak jumlah mahasiswa
Indonesia yang belajar di Malaysia dan Singapura dibandingkan dengan
jumlah mahasiswa Malaysia dan Singapura yang belajar di Indonesia.
Sama
seperti pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi di Indonesia
mengalami pasang surut. Ada beberapa isu dan polemik seputar
perkembangan perguruan tinggi di Indonesia yang pernah diberitakan oleh
media lokal dan internasiona seperti isu, kualitas pendidikan tinggi,
isu universitas perintis, polemik teaching university vs research
university, konversi IKIP menjadi universitas dan isu otonomi perguruan
tinggi yang ditandai dengan diberinya status perguruan tinggi berbadan
hukum (PTBH) bagi UI,ITB,UGM dan IPB sebagai implementasi PP Nomor 61
tahun 1999 (Kompas,20/02/04).
Pendidikan
tinggi di Indonesia telah memberikan kontribusi yang cukup significant
terhadap pembangunan di Indonesia. Beberapa politisi dan negarawan besar
seperti presiden RI pertama (the founding father), sejumlah pejabat
negara, pengusaha dan ilmuawan ternama telah dihasilkan oleh perguruan
tinggi di Indonesia. Universitas ternama (leading universities) di pulau
Jawa seperti UI, ITB, IPB, UGM, Unpadj,Unair, Undip serta diluar pulau
jawa seperti USU, Unand, Unud, Unhas Unstrat, Unhalu, Untad, Unmul dan
beberapa perguruan tinggi negeri lainya termasuk Univ negeri (eks IKIP)
dan Univ Islam Negeri (eks IAIN) dan beberapa perguruan tinggi negeri
lainnya merupakan perguruan tinggi yang telah aktif berpartisipasi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan Tri Darma
Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian dan pengabdian pada
masyarakat). Hasil-hasil penelitian staf akademiknya telah
dipublikasikan liwat jurnal ilmiah dan diseminasikan liwat seminar,loka
karya dan publikasi media.
Perkembangan pendidikan tinggi di
Indonesia ternyata juga banyak didukung oleh partisipasi aktif perguruan
tinggi swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah perguruan
tinggi negeri. Ada banyak perguruan tinggi swasta yang memiliki reputasi
atau status akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang sama
atau hampir sama dengan perguruan tinggi negeri. Bahkan sebahagian
perguruan tingi swasta telah memiliki jurnal ilmiah yang telah
terkreditasi. Beberapa perguruan tinggi swasta yang cukup dikenal baik
ditingkat lokal maupun tingkat nasional misalnya untuk di pulau Jawa ada
Univ Trisakti, Universitas Brobudur, Univ Guna Darma, Unika Atma Jaya,
Unas, Unpar Bandung ,UII Jokyakarta, Unmuh Malang, Ubaya. Sedangkan di
luar pulau Jawa terdapat beberapa PTS yang dapat diperhitungkan dan
sebahagian juga telah memiliki jurnal ilmiah. Perguruan tinggi swasta
tersebut antara lain seperti Univ Nomensen Medan, Univ Bung Hatta
Padang, UMI Makassar, Univ 45, Univ Klabad Manado, STIE/STISIPOL Panca
Bakti Palu, Unisa Palu dan Unismuh Palu.
Lepas dari banyaknya
kelebihan pendidikan tinggi di Indonesia, terdapat juga beberapa
kekurangan yang perlu dibenahi. Hal ini mungkin disebabkan oleh
kebijakan pendidikan tinggi yang kurang efektif dan sangat senralistik.
Adapun kekurangan yang mungkin perlu diperhatikan dan dibenahi secara
umum adalah:
Pertama,pelayanan jasa pendidikan tinggi baru
dinikmati oleh mayoritas kalangan keluarga kelas menengah ke atas atau
hanya segelintir kalangan kelas menegah ke bawah yang dapat menikmati
jasa pendidikan tinggi. Idealnya, pelayanan jasa pendidikan tinggi tidak
menciptakan dikotomi dan disparitas terutama berakaitan dengan akses
rekrutmen mahasiswa baru. Pejabat perguruan tinggi harus dapat
memfasilitasi mahasiswa yang kurang mampu tapi berprestasi untuk
memperoleh susbsidi atau beasiswa yang dapat menunjang studi mahasiswa
dari kalangan ekonomi lemah tersebut.
Kedua, kurikulum pendidikan
tinggi terlalu padat dengan bobot kredit yang kecil (antara 2 sampai 4
sks permata kuliah). Lagi pula, penelitian yang memakan waktu satu
sampai dua semester ironisnya hanya dinilai dengan bobot sks yang sangat
kecil (sekitar 4 sampai 6 sks) jika dibandingkan bobot sks penelitian
mahasiswa di luar negeri. Di negara maju mahasiswa belajar sedikit mata
kuliah tapi mendalam (in-depth).
Ketiga, kebijakan pendidikan
tinggi yang kaku yaitu pendidikan tinggi hanya menawarkan program
full-time students dengan bobot mata kuliah yang padat SKS. Pendidikan
tinggi seperti ini sangat membebani mahasiswa terutama yang sudah
bekerja karena mereka terbebani oleh bobot SKS yang padat (overloading)
ditambah dengan tugas-tugas pokok mereka di instansi pemerintah atau
swasta. Seharusnya ada alternatif untuk menawarkan program part-time
students yang dapat meringankan beban mahasiswa yang sudah bekerja
walaupun program pendidikannya relatif lebih lama tapi pasti.
Keempat,
kebanyakan perguruan tinggi hanya menawarkan on-campus program dan
belum menawarkan off-campus progam. Akibatnya, banyak mahasiswa yang
kebenaran harus pindah ke kota lain oleh karena tuntutan ekonomi atau
tugas kantor terpaksa harus bolos atau berhenti kuliah. Padahal program
off-campus (distant learning) mungkin dapat menjadi solusi seperti yang
ditawarkan oleh Universitas Terbuka.
Kelima, stratafikasi
pendidikan tinggi belum banyak menghargai prestasi akademik yang
gemilang, misalnya untuk melanjutkan pendidikan S3 seorang mahasiswa
harus menyelesaikan pendidikan S2 dulu walaupun mahasiswa yang
bersangkutan mendapat nilai Cum-laude. Dengan kata lain pendidikan
tinggi kita belum menawarkan program honours seperti kebanyakan
perguruan tinggi di luar negeri, yaitu bagi mahasiswa S1 yang mendapat
nilai Cum-laude bisa langsung mengambil program S3 (leading to PhD)
tanpa melalui pendidikan Magister (S2).
Keenam, Program akademik
di perguruan tinggi tidak fleksibel karena hanya menawarkan program
kuliah dan penelitian (combined course work dan research), idealnya
perguruan tinggi juga menawarkan beberapa pilihan program pendidikan
misalnya, program research student (mahasiswa peneliti melalui
bimbingan), Combined course work (seperti di Indonesia) dan pure course
work (jalur mata kuliah tanpa penelitian) yang mungkin cocok untuk
praktisi atau pekerja profesional. Melalui program seperti ini mahasiswa
diberi kebebasan untuk memilih salah satu jenis jalur pendidikan tinggi
yang diinginkan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Program seperti
ini sebenarnya sangat fleksibel dan mungkin sangat menguntungkan
mahasiswa.
Selanjutnya, untuk program combined course work atau
kuliah dan setelah itu diikuti dengan tugas akhir kegiatan penelitian,
misalnya seperti versi di Indonesia. Program ini sebaiknya direvisi
menjadi program yang lebih fleksibel yaitu mahasiswa ditawarkan salah
satu dari beberapa alternative program pendidikan tinggi, pertama "
program yang bobot sks mata kuliah lebih banyak misalnya 80 % dan bobot
penelitian lebih kecil atau sekitar 20 % atau sebaliknya mata kuliah 20 %
dan bobot penelitian 80 % dan atau fifty-fity yaitu 50 % bobot mata
kuliah dan 50% penelitian.
Kemudian, untuk evaluasi program
pendidikan seharus bersifat fair dan tidak diskriminatif. Selama ini
evaluasi dan assessment pendidikan baru diterapkan secara sepihak.
Dengan kata lain, setiap semester hanya mahasiswa yang dievaluasi hasil
belajarnya misalnya, melalui mid-semester dan final semester. Seharusnya
perguruan tinggi juga melakukan evaluasi kinerja staf dosen (academic
performance) misalnya melalui penyebaran angket kepada mahasiswa setiap
akhir semester. Angket tersebut harus diisi oleh mahasiswa dengn tujuan
untuk memberikan umpan balik atau penilaian mengenai kemampuan mengajar
dosen yang bersangkutan.
Di samping itu, perguruan tinggi
haruslah merancang program orientasi mahasiswa baru yang menekankan pada
program orientasi yang bersifat informative dan edukatif karena
beberapa waktu yang lalu program orientasi mahasiswa banyak diwarnai
oleh kegiatn perpeloncoan yang bersifat kurang mendidik dan mungkin
membuka peluang terjadinya tindakan kekerasan dan aksi balas dendam
sesama mahasiswa yang berbeda angkatan. Saya kira kini sudah saatnya
perguruan tinggi merubah paradigma program orientasi mahasiswa baru,
yaitu pertama materi program orientasi mahasiswa baru harus bersifat
informatif yakni pemberian informasi yang cukup komprehensif dan lugas
mengenai fasilitas pembelajaran yang tersedia dan cara pemamfaatannya
serta beberapa informasi penting dan relevan mengenai statuta perguruan
tinggi. kedua, program orientasi haruslah bersifat mendidik (edukatif),
misalnya memberikan pengenalan materi kepada mahasiswa baru mengenai
mekanisme pebelajaran di perguruan tinggi yang jauh berbeda dengan
model pebelajaran di sekolah menengah.
Akhirnya dapat disimpulkan
bahwa mutu pendidikan tinggi di Indonesia kemungkinan akan lebih
berkualitas dan dapat sejajar dengan kualitas pendidikan tinggi di
negeri jiran jika seandainya stake holders pendidikan tinggi termasuk
policy makers (pembuat kebijakan) dan decision makers (pengambil
keputusan) sebaiknya mereview, mengevaluasi, dan merevisi kebijakan
pendidikan tinggi di Indonesia secara periodic dengan banyak
mempertimbangkan feedbacks atau umpan balik dari stakeholders
pendidikan.
sumber :
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/49137
http://pendidikantinggi.blogspot.com/2009/05/prospek-pendidikan-tinggi-di-indonesia.html
No comments:
Post a Comment
wanna leave a comment?